Luapan Amarah + Bicara Dengan Emosional = Bencana

Pukul 17.00 WIB saya sedang berada di bandara Jakarta, menunggu pesawat dengan tujuan Surabaya.  Sembari menunggu panggilan untuk boarding, tepat di seberang saya terdapat segerombol orang yang berdiri mengelilingi pusat informasi keberangkatan di gate 5. Beberapa orang meneriakkan kata-kata tertentu dengan penuh kemarahan. Beberapa orang yang lain mengikutinya layaknya para demonstran. Keadaan semakin lama makin ricuh, hingga akhirnya petugas keamanan datang menghampiri kumpulan tersebut dan berusaha menenangkan mereka. Mereka adalah penumpang maskapai penerbangan tertentu dengan tujuan Denpasar. Jadwal penerbangan mereka di-delay selama beberapa waktu dan kemudian di-cancel karena kondisi cuaca yang kurang kondusif akibat letusan gunung Merapi.

Terlepas dari siapa yang benar dan salah, pengalaman tersebut membuktikan bahwa amarah dapat merusak dan mengacaukan komunikasi yang baik. Beberapa diantara calon penumpang tersebut meminta ganti rugi kepada maskapai penerbangan yang bersangkutan, karena penjadwalan ulang penerbangan menyebabkan mereka yang tidak berdomisili di Jakarta harus menginap di hotel untuk semalam. Sebuah permintaan yang masuk akal bukan? Akan tetapi, ketika calon penumpang tersebut menyampaikan maksud mereka dengan membentak, mengepal-ngepalkan tangan, dan bahkan mengatakan hal-hal yang tidak sepatutnya, maka proses komunikasi yang ada berjalan dengan sangat tidak efektif.

Kebanyakan orang gagal mengkomunikasikan aspirasinya bukan karena pendapat orang tersebut salah, melainkan karena cara penyampainnya yang cenderung mengaburkan atau bahkan merusak isi dari komunikasi tersebut. Sebuah komunikasi yang efektif mengandung setidaknya tiga hal yang harus mendukung proses penyampaian pendapat dari si pengirim (orang yang berbicara) dengan si penerima (orang yang diajak bicara), yaitu kata-kata, intonasi, dan bahasa tubuh.

Dari ketiga hal ini, bahasa tubuh dan intonasi memegang peran yang terpenting. Intonasi adalah tinggi rendahnya suara. Sedangkan bahasa tubuh meliputi ekspresi muka, gerak-gerik badan, posisi berdiri, dan gerakan tangan. Intonasi seringkali menunjukkan perasaan kita dan cenderung menularkan perasaan kita kepada lawan bicara kita. Bahasa tubuh sering kali menunjukkan pandangan kita mengenai orang yang kita ajak bicara. Apakah kita menganggap lawan bicara kita lebih tinggi, lebih rendah, lebih pandai, atau lebih bodoh akan tampak dari ekspresi muka, gerak-gerik tubuh dan tangan dan bahasa tubuh kita yang lainnya.

Kedua hal ini (intonasi dan bahasa tubuh) dapat memperlancar, atau sebaliknya, dapat menghalangi terjadinya komunikasi yang efektif. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang dapat menerima sebuah informasi atau saran dengan baik ketika ia sedang disudutkan. Ketika kita menyudutkan seseorang, maka secara otomatis ia akan memasang kuda-kuda untuk bertahan. Hal ini akan menyulitkan ia mendengar dan menerima apa yang hendak kita katakan. Intonasi yang tinggi dan menyentak-nyentak cenderung menyudutkan lawan bicara kita. Jika hal tersebut terjadi, maka lawan bicara kita akan kesulitan untuk menerima masukan atau kritik dari kita karena ia sedang sibuk menjaga emosinya agar tidak ikut terpengaruh.

Di sisi lain, bahasa tubuh menunjukkan bagaimana kita memandang posisi kita dan lawan bicara kita. Jika kita membelalakkan mata, meninggikan badan, dan mengacungkan-acungkan telunjuk, hal ini mununjukkan bahwa kita lebih superior dibandingkan lawan bicara kita. Bahasa tubuh seperti ini seolah-olah mengatakan bahwa “kamu harus mendengarkan saya, karena saya jauh lebih benar dan lebih tahu dari kamu.” Faktanya adalah tidak ada seorangpun dari kita yang senang di “bodoh-bodohkan” atau dinyatakan “bersalah” di depan umum. Kombinasi dari intonasi dan bahasa tubuh yang didorong oleh amarah yang tidak terkontrol ini hanya akan membuat lawan bicara kita memasang tembok pertahanan yang tebal karena ia sedang berusaha sekuat tenaga untuk tidak terpancing oleh emosi kita.

Kembali ke kejadian di bandara Jakarta tadi. Setelah beberapa lama petugas keamanan tersebut mendengarkan orang tersebut, maka dengan tenang ia mengatakan: “Saya mewakili perusahaan meminta maaf kepada Anda. Mari saya hantarkan Anda kepada manager saya untuk mendiskusikan permintaan ibu.” Kericuhanpun berhenti. Dalam waktu singkat luapan kemarahan yang meluap-luap tadi menjadi dapat terkontrol dengan baik. Saya berharap sang manager dapat menggunakan teknik berkomunikasi yang baik. Tetapi kejadian ini mengingatkan kita agar berhati-hati agar berkomunikasi, terutama ketika sedang marah.

Sekarang pukul 18.30 dan baru saja saya mendengar pengumuman bahwa pesawat sayapun mengalami masalah sehingga harus menunggu pesawat berikutnya. Semoga kelompok penumpang di gate saya tidak mengalami hal yang serupa.

1 comment: